Kehendak pemerintah Hindia Belanda yang terlalu besar tak
selalu dapat diterima oleh rakyat Nusantara. Berbagai pemberontakan menunjukan
bahwa api untuk merdeka, bebas dari belenggu musuh akan terus menyala. Berani
dalam mengambil resiko, berani mati demi sebuah kebebasan.
Bukti dari semua pernyataan itu adalah perang Batak. Si Singa Mangaraja
XII, telah menyatakan akan menentang agama Nasrani yang telah direncanakan
pemerintah Hindia Belanda untuk disebarkan di tanah Batak. Ia menganggap bahwa
penyebaran agama Nasrani ini dapat membahayakan tanah Batak, dimana dengan
banyaknya rakyat yang menganut ajaran ini maka dikhawatirkan akan menghancurkan
stuktur tradisional yang telah lama ada dan kokoh di tanah ini.
Si Singa Mangaraja XII yang bernama asli Patuan Bosar Ompu Pulo
Batu menggantikan ayahnya yang meninggal dunia pada sekitaran tahun 1860-an,
ketika missi kristen mulai memasuki daerah Silindung dan Toba. Pos-pos zending
pun mulai didirikan di daerah tersebut.
Potret Si Singa Mangaraja XII |
Dalam menindaklanjuti pernyataanya yang telah disebutkan di atas,
Si singamangaraja XII di sekitar tahun 1877 mengadakan kampanye keliling daerah
untuk mengajak rakyatnya untuk bersama-sama menghentikan masuknya ajaran
kristen dengan mengusir zending-zending kristen dan mencegah kegiatan mereka.
Ia pun dikabarkan telah meminta bantuan pejuang-pejuang Aceh dan mempersenjatai
rakyatnya dengan 50 puncuk senjata. Dapat kita lihat dari sini, semangatnya
begitu besar, hingga tindakanya pun begitu begitu besar pula. Sebagai raja, ia
sangat mampu menggerakan rakyatnya.
Dilihat dari sistem pemerintahan dan kekuasaan raja Batak, memang
raja menguasai hidup atau mati rakyatnya. Anak buahnya harus mengikuti
perjalanan dan peperangan yang dilakukan. Bila ada yang membangkang, ia
dikucilkan dari masyarakat dan tidak boleh membawa serta harta dan benda. Tapi
di luar itu, sejak pemerintahan Si Singa Mangaraja XI kepercayaan rakyat kepada
raja nya memang sudah tetap terjamin. Karena segala bentuk pertentangan dalam
masyarakat dapat diatasi dengan baik. Dan juga rakyat menganggap Si Singa Mangaraja
tidak hanya pemimpin politik saja, tetapi juga sebagai seorang raja yang
bersifat Illahi, yang memiliki kekuatan untuk memberikan mereka keselamatan,
perlindungan, dan kesejahteraan. Semangat Si Singa Mangaraja XII dapat
tersalurkan, atas kepercayaan dan kesetiaan rakyatnya pula.
Setelah pertempuran Si Singa Mangaraja XII dengan Belanda yang
dinyatakan dimulai setelah Belanda pada tanggal 8 Januari 1807 mulai
memerintahkan tentara di pos Sibolga untuk memasuki daerah Silindung, Si Singa
Mangaraja terus melakukan perlawanan dengan senjata yang mereka punya. Senjata
mereka adalah senapan sudut, bambu runcing, lembing, dan juga pedang yang
disebut jono.
Sampai dengan akhir abad ke-19 Si Singa Mangaraja XII masih terus
melakukan perlawanan-perlawanan. Akan tetapi sesudah tahun 1900, kekuatan Si Singa
Mangaraja XII semakin menurun sehingga mereka lebih mengerahkan
kekuatan untuk mempertahankan diri dibandingkan dengan menyerang lawan.
Meskipun begitu, rakyat-rakyatnya (penduduk Pak-Pak dan Dairi) tetap setia
padanya.
Di sisi lain, pemerintah Hindia Belanda sedang mengadakan operasi
Gayo-Alas en Bataktochen yang dipimpin oleh Overste Van Daalen, yang bergerak dari
Aceh Utara melalui daerah Gayo Alas terys menembus daerah Batak, terutama ke
tempat pertahanan Si Singa Mangaraja XII. Operasi dilakukan dengan mengepung
dan membakar kampung-kampung yang masih membangkang di sepanjang daerah yang
dilaluinya.
Pasukan Belanda akhirnya sampai di daerah Pak-Pak dan Dairi.
Pejuang-pejuang Batak semakin terdesak, dan hubungan dengan daerah-daerah Aceh
yang telah lama dilakukan pun menjadi terputus. Si Singa Mangaraja XII
terkepung di daerah segitiga antara : Barus-Sidikalang dan Singkel (perbatasan
Aceh). Akan tetapi, ia terus berpindah-pindah tenpat menghindari Belanda.
Pada tanggal 4 Juni 1907 pasukan Belanda tiba di Panguhon, setelah
melewati kampung-kampung Penegen dan Bulalage. Kemudian terdengar
berita bahwa Si Singa Mangaraja berada di daerah ini. Pertama-tama pasukan
Belanda menggebreg huta Anggoris yang tak jauh letaknya dari
Panguhon. Ternyata Si Singa Mangaraja telah meninggalakn tempat tersebut
sebelum pasukan Belanda datang. Si Singa Mangaraja XII telaah menyingkir ke daerah
Alahan, sementara itu Belanda terus mengejarnya melalui kampung-kampung Batu
Simbolon, Bongkaras, dan Komi. Pada tanggal 16 Juni, pengejaran terus dilakukan
melalui Lae Kundur dan Huta Galung. Sesampainya pasukan Belanda di Alahan,
kembali Si Singa Mangaraja berhasil meninggalkan tempat tersebut dengan cepat.
Dalam perjalanan yang terakhir ini, Si Singa Mangaraja XII hanya didampingi
oleh beberapa rencong.
Akhirnya pada tanggal 17 Juni 1907, jam 14.00 siang, pasukan Hans
Christoffel yang terdiri dari orang-orang Ambon, Halmahera, dan orang Belanda
berhasil menemukan Sisingamangaraaja di dekat Aik Sibulbolon, daerah Dairi.
Dalam keadaan yang sangat lemah ini, Sisingamangaraja XII bersama putra-putra
nya dan pengikutnya tetap mengadakan perlawanan. Dalam peristiwa ini Si Singa Mangaraja
XII tertembak oleh pasukan Belanda yang mengepungnya.
Dari rangkaian peristiwa ini, kita bisa melihat bagaimana gigihnya
Si Singa Mangaraja XII dalam menghadapi Belanda. Ia tak berakhir dengan kata
“damai” dan "menyerah" demi rakyatnya dan struktur masyarakatnya yang
senantiasa ia ingin terus pertahankan. Semangat ini bisa kita ambil, untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-sehari. Semangat pantang menyerah, dan
semangat berani mengambil resiko.
Di sisi lain, dengan gugurnya Si Singa Mangaraja XII maka seluruh
daerah Batak jatuh ke tangan Belanda. Kekuasaan atau takhta kerajaan tidak
dapat diserahkan kepada anak-anaknya. Dikarenakan anak perempuanya, Lopian dan
dua putranya Sultan Nagari dan Patuan Anggi ikut gugur bersama nya. Putra-putri
nya yang lain, istri, dan ibunya, tetap menjadi tawanan Belanda. Diantara
putra-putra nya, Sabidan, Pakilim, dan Buntai, dibuang ke luar daerah Batak,
sedang Barita dan Pangarandang tinggal di Pea Raja dalam asuhan pendeta
Henoch.
Sejak itu, rodi dan penarikan pajak yang berat, serta berbagai
peraturan pemerintahan kolonial yang merugikan rakyat masuk ke daerah ini.
Struktur kehidupan tradisional dari masyarakat Batak pun menjadi runtuh.
Tetapi, segala jasa dan semangat Si Singa Mangaraja XII tidak akan pernah dan
tidak seharusnya runtuh oleh zaman.
Hardjasoewita, M. Endo. 1953. Sedjarah Indonesia. Jakarta, Publishing Company.
Notosusanto, Marwatti Djoenoed. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta, Balai Pustaka.
Nasden, William. 2008. Sejarah Sumatra. Jakarta, Komunitas Bambu.
Gambar:
www.ilmusiana.com S
www.ilmusiana.com S
Apa pentebab kekuatan dari Si Singa Mangaraja XII menurun sesudah tahun 1900 an?
BalasHapus-kelompok portugis
*penyebab
Hapus